Cerita yang akan Via tulis mungkin sedikit panjang lebar, namun Via jamin sobat Via tidak akan rugi untuk terus membacanya karena akan ada hikmah yang dipetik dalam kisah yang akan Via tulis kali ini.
Orang bijak berkata : Makhluk yang paling menakjubkan itu adalah manusia. Karena manusia bisa memilih untuk menjadi "Setan atau Malaikat" - John Scheffer.
Sobat mau jadi Setan ( neraka ) atau Malaikat ( Syurga )?
Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden,
saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya
berkali-kali melihat ke rumah saya. Tangannya yang dimasukkan ke saku
celana, sesekali mengelap keringat di keningnya.
Dada
saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnya
tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat
tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan
keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak
lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun
penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia
punya masalah dengan Yudi, anak saya?
Kenakalan
remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan
remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi
mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh
pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini,
saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi
sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah
seminggu tidak masuk.
Jadi kalau lelaki yang
selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar
rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.
Tapi
mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai
tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu
berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia
sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja
yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti
berburuk sangka seperti tadi. Tapi dizaman ini, dengan
peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang,
tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?
Saya
masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di
samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali
masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di
dunia ini yang tidak ada jawabannya.
Terlintas
di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut jadi ramai.
Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak
itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang
memukul.
Tiba-tiba anak muda itu membalikkan
badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang
kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk
menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah.
Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah
melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu
tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas
pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu
karena kaki saya masih lemas.
Saya pernah
melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah
seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu
itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak,
saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang
gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas
mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu
dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue,
telah raib.
Dan hari ini, lelaki yang gelisah
dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah
di atas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin
emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat
penting, tidak ada yang berkurang.
Lama saya
melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda
yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya, dalam
situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang
yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau
hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?
Bersama
dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan
surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari
kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya. Inilah isi surat si
remaja tersebut :
“Ibu yang baik…, maafkan
saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet
Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis
surat ini, semoga Ibu mau membacanya.
Sudah
tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu
membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat
sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu
saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi
yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi
buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.
Adik
saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan
goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya
membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk
beli beras.
Saya sadar, kalau keadaan
seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya.
Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran, saya juga
membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya
ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung
dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon
gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama
ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat
beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin
itu.
Ketika Bapak semakin sering
meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya
tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul,
saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai
anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?
Saat
Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati
saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa.
Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang
semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya
memukulnya lagi.
Di jalan, saat
saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi
tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter.
Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan
saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu,
di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk
sekali makan.
Maka tekad saya,
Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya
merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi
saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah
membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.
Dan
begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu
memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas
jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil
dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.
Saya
segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu…, Emak malah
menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya
sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari
teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak
mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.
Di
pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu…, tidak
pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak.
Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya
saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri.
Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena
orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa
melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf.”
Surat
tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya
mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan
tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di
taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun
yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya
menanyakannya.
Lelah mencari, di bawah pohon
rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat
sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi
pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala
kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang
kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah
mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.
Kang
Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir
ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan.
Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya
ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan
sebagainya.
Saya menolaknya meski Kang Yayan
bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Yayan
menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi saya ingin memasak di
rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan
dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang
Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para
pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap
stopan.
Di stopan terakhir yang kami kunjungi,
saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama.
Diam-diam air mata mengalir dimata saya.
Yuni
menghampiri saya dan bilang, “Mama, saya bangga jadi anak Mama.” Dan
saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.
Sumber: Unknown (tanpa nama)
Renungan :
Bagaimana sobat Via setelah membaca kisah tadi. Apakah yang sobat pilih? Mau masuk Neraka atau Syurga? Ingatlah bawah suatu ketika bila seseorang berlimpah harta ia akan lupa
jati dirinya, foya-foya, lupa keluarga terdekat dan teman. Ketika Anda
bergelimang harta cobalah untuk belajar bersedakah. Bila Anda malas
bersedekah, kepastian setiap hari peringai Anda seperti setan dan ketika
Anda jatuh miskin, maka penyesalan Anda tiada guna lagi. Relakanlah dia
(harta) pergi karena dia (harta) hanyalah titipan sementara dari Allah
SWT.
Maka jadilah Malaikat.. Seperti contoh Milyuner Bill Gates, walau bergelimang harta tapi dia tidak lupa akan jati dirinya. Dia selalu bersedekah hampir di setiap negara. Dan tidak perlu menjadi seorang Bill Gates kalau hanya untuk bersedekah. Kita bisa bersedekah semampu kita, tinggal masukkan duit sobat ke kotak amal - kotak amal yang ada di masjid-masjid atau mushollah atau di tempat lain yang ada kotak amalnya. Karena seperti janji Allah SWT :
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada‐Nya lah kamu
dikembalikan” (QS: Al‐Baqoroh: 245).
Semoga Kisah ini sebagai renungan kita dalam menjalani hidup yang hanya sesaat.
Source : http://www.rinagu.com